Dingin, tetapi
Indah. Inilah kesan pertama yang mungkin dirasakan oleh siapapun yang
baru pertama kali menginjakkan kaki di Ma’had Nurul Haromain, pesantren
yang dirintis dan didirikan pada tahun 1986 oleh seorang imam ahli
hadits dari ulama sunni, Prof D.R As Sayyid Muhammad bin Alawi al
Maliki. Sebelumnya Beliau telah membangun beberapa pesantren di tanah
Jawa seperti halnya Ma’had Darussalam Tambak Madu Surabaya. Dan setiap
kali pula, Beliau menunjuk santri generasi pertama KH Ihya’ Ulumiddin
menjadi penanggung jawab pembangunan.
Ketika
memulai membangun Pesantren Nurul Haramain, Abuya ( panggilan akrab As
Sayyid Muhammad al Maliki ) berpesan kepada KH Ihya’: “ Jangan menerima
bantuan dari siapapun, pesantren ini pendanaannya akan saya ambilkan
murni dari saku pribadiku “ akhirnya setelah lima tahun, bangunan
pertama pesantren yang terdiri dari Mushalla, asrama santri dan tempat
tinggal pengasuh selesai dikerjakan. Mendapat laporan tentang ini, Abuya
sempat berkelakar menawarkan : “Bagaimana menurutmu, apa sebaiknya
bangunan itu dijual saja ? “ Mendengar ini kontan KH Ihya’ kaget dan
bertanya: “ Dijual, Abuya? “ akhirnya kemudian Abuya memerintahkan KH
Ihya’ sendiri agar menjadi pengasuh pesantren tersebut.
Dingin,
karena memang pesantren ini terletak di desa Ngroto Pujon Malang yang
secara geografis berada di ketinggian lima ratus meter di atas permukaan
laut dengan temperatur rata – rata 17 hingga 19 derajat dan bahkan pada
suatu saat di bawah lima belas derajat. Indah, karena panorama alam
sekitar Ma’had adalah daerah pertanian yang sangat subur, penuh
kehijauan dan ketika mata berkeliling memandang maka terlihat sekali,
tidak jauh di sana gugusan gunung Arjuna yang gagah dan gunung Kawi
serta gunung – gunung lain dengan hiasan teraseringnya.
Keindahan
alam sekitar, ternyata juga terasa sekali aromanya di dalam lingkungan
pesantren. Dari segi fisik pesantren ini kelihatan bersih dan rapi,
meski dari segi bangunan fisik sudah mulai kelihatan tidak baru lagi.
Pada awal berdiri dan mula - mula dihuni santri ( tahun 1990 ), para
tamu yang datang rata - rata berkomentar bahwa ini tidak seperti
pesantren dan lebih layak disebut vila, apalagi arsitektur bagian depan
Ma’had mirip sekali dengan bentuk gereja. Ketika ditanya kenapa
bentuknya demikian? Maka Ust Ittihad yang sejak lima tahun lalu belajar
di pesantren ini menjawab: “Ini terkait dengan pengalaman menjengkelkan
pengasuh yang pernah singgah di suatu daerah. Beliau mencari tempat
untuk sekedar beristirahat. Terlihat dari jauh ada sebuah bangunan
Masjid. Ternyata sampai di sana, adalah sebuah gereja dengan gaya
arsitektur Masjid. Akhirnya waktu itu Beliau bertekad kelak jika ada
kesempatan membangun pesantren maka akan mendesain tampilan mukanya
seperti gereja.“
Dengan
formalitas sebagai pesantren pengembangan dan dakwah, tentunya hal ini
bukan plat form belaka, melainkan sebuah tekad yang alhamdulillah bisa
terlaksana. Pesantren ini hanya menerima para santri lulusan pesantren
lain, atau dengan kata lain santri yang bisa masuk pesantren ini adalah
yang sudah mampu membaca kitab gundul. Itupun dengan jumlah paling
banyak 40 santri. Tujuannya agar mereka bisa diawasi dan dibimbing betul
– betul oleh pengasuh. Dalam jumlah itu Abi ( panggilan akrab para
santri kepada pengasuh ) akan bisa mengenal karakter dan kemampuan
masing - masing santri, sekaligus mengawasi perhlaku kesehariannya
secara mendalam.
Sebagai
pesantren pengembangan, ma’had Nurul Haramain menerapkan kurikulum yang
boleh dikatakan memiliki perbedaan dengan kurikulum umumnya pesantren
Indonesia. Jika fiqih di sana menempati posisi mayoritas, maka di
pesantren ini hadits dan segala yang terkait menjadi kurikulum yang
mendominasi. Shohih Bukhori dan Muslim, Sunan Abu Dawud dan Turmudzi
adalah pelajaran wajib yang diterima oleh para santri. Di pesantren ini
hadits tidak hanya dibaca dengan makna gandulnya, tetapi dipelajari
secara menyeluruh dari sisi sebab wurud, arah tujuan dan kaitannya
dengan suatu ayat atau hadits lain serta hukum dan hikmah yang
terkandung di dalamnya. Jadi tidak jarang apabila penjelasan satu hadits
bisa memakan waktu satu jam lebih yang tentu saja itu semua dengan
mengacu kepada pemahaman para ulama salaf.
Selain
hadits, tafsir juga menjadi materi yang diprioritaskan Ini bukan berarti
fiqih tidak dikaji. Justru di pesantren yang secara fiqih bermadzhab
Syafi’i ini kitab Muhadzab dikaji secara luas dan mendetail. Hal
tersebut menjadikan para santri kaya akan wawasan, banyak mengenal dan
membaca pendapat berbeda beberapa ulama dalam satu masalah. Sehingga
tanpa disadari fanatisme madzhab dalam fiqih - yang dalam sejarah Islam
adalah penyakit yang menggerogoti tubuh umat Islam - hilang.
Tidak hanya
sampai di sini, pengasuh pesantren ini yakni KH Ihya’ Ulumiddin yang
seperti diketahui adalah murid seorang ahli hadits, Sayyid Muhammad bin
Alawi al Maliki juga memberikan pengetahuan, pemahaman dan penekanan
kepada para santri tentang sunnah - sunnah Rosululloh SAW dalam adat
maupun ibadah. Dalam ibadah misalnya, para santri diharuskan menjalankan
sholat seperti shalat Rosululloh SAW di mana tata caranya telah
diringkas dalam sebuah buku praktis berjudul “ Kaifa Tusholli “ bagaimana anda sholat yang lahir dan terinspirasi sebuah hadits yang artinya, “Sholatlah kalian seperti kalian melihatku sholat“ HR Bukhori.
KH. M. Ihya Ulumiddin |
Para santri
Nurul Haramain, meski sama sekali tidak ada SPP atau syahriyyah alias
gratis, juga mendapatkan kesempatan mengembangkan wawasan umum seperti
bahasa Arab bahasa inggris, komputer, kajian kristologi, pemikiran
kontemporer, latihan tulis menulis, serta latihan keterampilan lain dan
juga latihan keberanian dan kepemimpinan yang wujudnya adalah menjadi
ketua kegiatan rutin secara bergantian atau menjadi imam shalat secara
bergiliran. Jadi di pesantren ini seorang guru ( baca : kiyai ) dalam
shalat lebih banyak menjadi ma’mum.
Dalam aspek
mendidik ruhani santri, pesantren ini merumuskan kurikulum wajib
Qiyamullail, baca wirid dan tentu saja membaca Alqur’an secara rutin.
Seusai maghrib, satu juz Alqu’an membaca Rotib al Haddad, Rotib al
Atthos, al Asma’ul Husna dan. Di tengah malam sekitar jam 3.00. selesai
sholat tahajjud dan witir, bermunajat kepada Alloh dengan membaca
Hasbanah ( Hasbunalloh wa Ni’mal Wakil ) dan Latihfiyyah ( Ya Lathif ) serta wirid lain secara bersama. Menjelang subuh para santri melakukan Haj’ah, yaitu tidur sekitar setengah jam untuk menunggu datangnya waktu shalat. Dan setelah sholat subuh membaca Wirdullathif dan beberapa bacaan sholawat hingga matahari terbit yang kemudian ditutup dengan sholat Isyroq dan dhuha. Aktivitas lalu dilanjutkan dengan kegiatan ta’lim pagi hingga pukul 8.30 – 09.00. Setelah makan pagi, kegiatan kembali diadakan berupa mudzakaroh belajar bersama hingga menjelang zhuhur. Usai sholat zhuhur, para santri kembali harus mengikuti tarqiyah, istilah untuk pengembangan kemampuan berbahasa Arab. Sampai
sekitar jam 13.00 atau 13.30.00 barulah santri menikmati makan siang
dan istirahat sampai menjelang Ashar. Usai sholat Ashar para santri
keluar dari lingkungan ma’had untuk mengajar Alqur’an anak – anak di
desa – desa terdekat. Aktivitas yang padat yang harus dijalani oleh
santri di pesantren ini memang sebuah metode pendidikan / tarbiyah yang disebut dengan istilah Tasyghil Thullab (
membuat para santri sibuk ) yang didapatkan pengasuh dari Sang Guru
Besar Abuya as Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani.
Abi Ihya' Ulumiddin bersama Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy Al Maliky
Ketelatenan
dan kontinyuitas berdakwah sedikit demi sedikit akhirnya mampu
menumpulkan usaha – usaha para misionaris Kristen sehingga boleh
dikatakan gerakan Tanshir ( usaha pengkristenan ) di
daerah pujon sekarang ini mati. Salah satu langkah yang ditempuh
pesantren ini adalah dengan bergaul dekat, akrab bersama masyarakat.
Dakwah yang simpatik dilakukan para santri dengan tanpa risih tanpa
segan bergerelia, berkunjung dari satu rumah ke rumah lain bertanya
kepada penduduk bagaimana keadaan, apa pekerjaan, berapa jumlah anak dan
cucunya?. Ini semua menyebabkan masyarakat merasa diperhatikan sehingga
tumbuh - lah keterikatan hati mereka dengan para santri.
Perjalanan
waktu dan realitas masyarakat yang demikian, di samping juga tanggung
jawab menempa dan mengembangkan potensi diri santri akhirnya mengilhami
pesantren ini untuk membagi dan mengatur waktu dengan sebaik – baiknya
antara waktu mengaji dan waktu berdakwah. Akhirnya secara rinci bisa
dipaparkan bahwa aktivitas santri pesantren ini adalah empat hari
mengaji ( berada di pesantren ) mulai Senin – Kamis dengan setiap sore
setelah Ashar berdakwah di masyarakat sekitar. Sedang dua hari
berikutnya ( mulai malam Jum’at hingga malam Ahad ) khuruj,
keluar menuju daerah - daerah yang lebih jauh dan menginap di desa -
desa tempat berdakwah yang ada di wilayah kecamatan luar Pujon seperti
Batu, Ngantang dan Kasembon.
Pada malam Ahad, semua santri datang untuk pada Ahad paginya, setelah subuh, membaca aneka ragam buku Maulid Nabawi
atau melakukan latihan mental, berceramah di hadapan teman - teman
sendiri dengan topik - topik yang telah ditentukan. Sekitar jam 07, para
santri melakukan olahraga di lapangan desa Ngroto yang kebetulan tidak
jauh jaraknya hanya sekitar 300 meter dari Ma’had. Setelah berolahraga
dan sarapan pagi, para santri mengikuti Ma’arif Aam sebuah kegiatan pengembangan pengetahuan wawasan umum.
Selain dakwah harian dan mingguan seperti disebutkan, ma’had Nurul Haromain juga memiliki kegiatan dakwah bulanan seperti Niswiyyah, kajian
tentang hal - hal yang berhubungan dengan wanita yang diselenggarakan
di lingkungan pondok dan pesertanya terdiri dari para gadis remaja dan
ibu - ibu dari desa –desa binaan para santri. Perlu diketahui bahwa
proses adanya desa binaan biasanya berawal dari kegiatan dakwah tahunan
yang disebut dengan Amal Bakti Santri (ABS), sebagai media pengabdian
masyarakat yang populer di lingkungan kampus dengan istilah KKN ( kuliah
kerja nyata ) atau PKLI ( praktek kerja lapangan integratif ). KKN
versi pujon ini menjadi salah satu indikator keberhasilan santri. Sebab
parameter kesuksesan santri adalah bila mampu menjalankan empat poin; khidmah ( pelayan dan pengabdian ), ta’lim ( belajar ), wirid ( terapi spiritual ) , dan ibadah. Khidmah di sini adalah melayani dan mengabdi terhadap guru, pondok, sesama santri, dan masyarakat ( social service ).
ABS dilakukan dengan dua model, Tajribiyyah ( percobaan ) dan Kubro ( besar - besaran ). ABS tajribiyyah
diperuntukkan bagi para santri baru. Biasanya dilakukan pada bulan
Maulid. Setiap santri diwajibkan turun ke tengah masyarakat di desa –
desa binaan untuk melakukan dakwah selama 13 hari. Kegiatan yang
dilakukan bervariasi, seperti mengajar mengaji di masjid atau mushalla,
sampai pendirian masjid desa tersebut. ABS kubro diperuntukkan
bagi seluruh santri dan dilakukan pada bulan Sya’ban dengan melakukan
safari dakwah ke desa – desa yang kurang mengenal Islam. Di tempat itu
mereka melakukan pembinaan anak – anak, merintis TPQ, menyelenggarakan
peangajian remaja dsb. Selam` 20 hari para santri menetap di desa dengan
dibagi dalam beberapa pos dakwah. Keterlibatan santri secara langsung
dengan kondisi riil masyarakat membangun kepekaan dakwah yang tajam
serta kepedulian tinggi terhadap umat. Segala cara yang dikembangkan
oleh pesantren Nurul Haromain adalah dalam upaya mengasah kepekaan
sosial serta menggugah semangat dakwah.
Selain itu,
untuk lebih merekatkan dan menjaga jalinan persaudaraan dengan
masyarakat, pesantren memiliki dua acara besar yang di dalamnya
melibatkan serta mengundang seluruh lapisan masyarakat yang pernah
memiliki hubungan dengan pesantren. Semua daerah di mana para santri
pernah berdakwah di sana diundang. Maka tidak heran jika acara Istihlal (
Halal Bi Halal ) dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang
dilaksanakan di halaman belakang pesantren di hadiri sampai enam atau
tujuh ribu jamaah yang datang dari wilayah Malang sendiri serta luar
kota seperti Surabaya, Pasuruan, Kediri dan Tulungagung.
Tidak
seperti pesantren umumnya, Nurul Haromain sengaja meluangkan waktu untuk
ajang refreshing bagi para santri. Hal ini untuk menghilangkan
kepenatan setelah sekian waktu dihadapkan pada medan dakwah yang
menguras tenaga dan fikiran. Kegiatan refreshing ini dilakukan setahun
sekali, biasanya tiap bulan Dzulhijjah dalam bentuk Rihlah Dakwah atau
safari “ rekreasi “ dakwah dengan mengunjungi obyek wisata yang ramai
dikunjungi orang. Selain sebagai media refreshing, program ini juga
sebagai ajang “ uji mental “ santri. Sebelum berangkat, mereka harus
mencukur rambut terlebih dahulu hingga plontos seperti perkumpulan
Shaolin. Lalu mereka berangkat ke tempat wisata dengan kepala gundul. Di
sana mereka melakukan bermacam – macam kegiatan yang bisa dinilai aneh
oleh pengunjung. Biasanya mereka melakukan orasi di depan khalayak
ramai, lalu disambung Diba’an, marawis, javin dan sebagainya. Di sinilah nyali dan mental mereka tertantang, dengan kepala plontos yang terkesan jelek,
apakah mereka malu atau tidak beraksi di hadapan orang banyak? Di
tempat wisata tersebut mereka menjalankan pengajian, sholat berjamaah,
membaca wirid atau hizib, dan berbagai rutinitas pesantren lainnya.
Hanya saja suasana terasa lebih rileks dan enjoy karena berada di lokasi
wisata. Lebih dari itu biasanya disertai dengan acara bakar sate.
Pesantren
ini memang unik bila dibanding dengan pesantren lain. Jika bulan
romadhon pada separuh pertama pesantren – pesantren ramai dengan kajian
kitab – kitab salaf, maka justru pesantren ini diliburkan dan para
santri baru diwajibkan berada di pondok kembali pada sekitar tanggal 19 /
20 Romadhon untuk mengikuti kegiatan I’tikaf pada sepuluh hari
terakhir. Kegiatan I’tikaf ini juga diisi dengan kajian sebuah kitab dan
biasanya tidak hanya diikuti oleh santri, tetapi juga puluhan orang
dari berbagai macam latar belakang dan aneka ragam pemahaman. Hal yang
menarik adalah, kegiatan I’tikaf dalam rangka mendapatkan Lailatul Qodr ini para pesertanya mendapatkan fasilitas tempat menginap, materi kajian dan makan minum secara gratis.
Keunikan
lain Nurul Haromain adalah adanya keterbukaan dan jalinan hubungan
antara pesantren dan kampus – kampus yang ada di Malang dan Surabaya
sehingga tidak jarang para mahasiswa mahasiswi datang dan menginap di
sini selama 3 malami atau bahkan satu minggu penuh untuk
menyelenggarakan training keagamaan, atau pendalaman agama secara
praktis. Adanya interaksi antara pesantren dengan dunia akademik (
kampus ) ini menjadi sebab adanya barter ilmu pengatahuan dan
pengalaman. Di satu sisi, santri mendapatkan informasi atau data baru
tentang perkembangan terkini dan di sisi lain para mahasiswa juga bisa
melihat gambar hidup dari Islam yang dilakonkan para santri. Interaksi
yang cukup intens antara santri dan mahasiswa di pesantren ini
membuahkan banyak sekali manfaat bagi kedua belak pihak. Salah satunya
adalah terjadinya perjodohan. Banyak para santri Nurul Haromain, yang
nota bene nya adalah orang pesantren murni dan tidak pernah mengenal
pendidikan formal, menikah dengan para mahasiswi perguruan tinggi
negeri seperti ITS, UNESA, UNBRAW dan UM (Ikip Malang ). Sekali lagi,
ini adalah keunikan yang tidak ada pada pesantren lain yang rata – rata
justru eksklusif dan negative thinking terhadap teman – teman dari
kampus. Ini semua adalah anugerah Alloh.
Interaksi
dengan teman – teman kampus berarti berinteraksi dengan para intelektual
dan orang – orang yang memiliki keahlian. Berkah dari ini juga
dirasakan oleh Nurul Haramain yang kini memiliki kandang sapi perah di
mana urine dan fesesnya bisa diolah menjadi Biogas dan Pupuk Organik.
Meski belum maksimal, tetapi keberadaan kandang dan semuanya itu juga
memberikan andil dan mendongkrak popularitas di kancah Nasional. Tamu –
tamu dari penjuru Indonesia yang belajar peternakan di Balai Peternakan
kota Batu, praktek lapangannya mesti ke Nurul Haramain.
Setelah
hidup di Nurul Haromain selama kurang lebih 3 tahun, sebagian santri
melanjutkan pengembaran ilmu ke Makkah al Mukarromah, tepatnya di Ma’had
Rushaifah tempat kediaman perintis Ma’had Nurul Haromain sendiri, Abuya
Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki. Sementara sebagian lain mengemban
tugas dakwah di berbagai daerah di tanah Jawa
Biasanya
ketika ada tanah waqof di suatu daerah, maka para santri segera dikirim
dan di sanalah kemudian didirikan pesantren atau Lembaga Pendidikan
Islam (LPI) yang seluruhnya menjadi cabang dan bernaung di bawah
PERSYADA ( Persyarikatan Dakwah al Haromain ) yang berkantor pusat di
Ketintang Barat 1 / 27 Surabaya ( telp 031 – 8288067 / 70518810 ).
Sampai tulisan ini dibuat, tercatat ada sekitar 36 cabang Nurul Haromain
yang tersebar di wilayah Blora, Tuban, Lamongan, Surabaya, Malang,
Jombang, Blitar, Kediri, Tulungagung, Ngawi, Magetan, Solo, Jogja,
Kebumen, Cilacap, dan Salatiga. Semoga cabang – cabang lain segera
dibuka dan tersebar lebih luas lagi.Amin .
Jika
pesentren putera menjadi Kawah Candradimuka para da’i, maka mulai tahun
2003 Nurul Haromain juga membuka pesantren puteri - jumlah juga dibatasi
- dengan program paket dua tahun. Selama dua tahun ini santri puteri
selain dipersiapkan sebagai calon – calon isteri yang sholihah juga
dibekali dengan Life skill berupa PGTK ( pendidikan guru TK ). Hal yang
sangat menggembirakan, dengan segala keterbatasan yang dimiliki, para
santri puteri Nurul Haromain cukup mendapat simpati dari berbagai
instansi pendidikan, utamanya Play Group dan TK baru yang kini mulai
banyak dirintis, terutama dalam lingkup wilayah PERSYADA. Pihak
penyelenggara salpai tidak bisa memenuhi kuota permintaan. Sekali lagi,
ini semua adalah anugerah Alloh.
Ibarat
pedagang yang bila ingin mendapatkan banyak keuntungan maka harus
kreatif dan inovatif serta memahami selera pembeli. Pesantren yang kini
mulai banyak dikenal oleh para pejabat tinggi RI ini juga demikian
halnya, ingin mendapatkan keuntungan sebanyak – banyaknya. Satu orang
yang mendapatkan petunjuk dihargai oleh Alloh dan RosulNya lebih mahal
daripada Humurun Na’am , ( unta yang kemerah – merahan ). Ini
menjadi motivasi kuat mendirikan lembaga pendidikan formal yang sekarang
sudah ada mulai Play Grop sampai SMP dan Insya Alloh ke depan sampai
pada perguruan tinnggi. Hal ini karena jika ditanya apakah ingin
memiliki anak yang sholeh maka semua orang tua pasti mengangguk, tetapi
jika diminta agar memasukkan anak mereka ke pesantren maka mayoritas
mereka enggan. Akhirnya berdakwah dengan membuat lembaga formal dengan
label dan isi islami adalah sebuah pilihan dalam langkah dakwah dewasa
ini.
0 komentar:
Posting Komentar