Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini sesuatu yang bukan merupakan bagian darinya, maka perkara baru itu tertolak
Hadits ini adalah salah satu dari beberapa hadits yang terkenal dalam pembahasan tentang bid'ah, selain yang paling terkenal : kullu bid'ah dlolalah. Mari kita perhatikan.
Hadits ini menunjuk pada paling tidak 3 hal :
1. perkara baru itu ada dua : yang tidak termasuk bagian dari yang diperintahkan Nabi dan yang termasuk bagian dari yang diperintahkan Nabi. Perkara baru jenis yang pertama tertolak, sebagaimana dijelaskan oleh teks hadits. Perkara baru yang kedua bisa diterima, karena termasuk bagian dari yang diperintahkan oleh Nabi. Maka di sinilah terletak ketelitian ucapan Imam asy Syafii yang terkenal :
قال الإمام الشافعي- رحمه الله -: ((البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة، فهو محمود، وما خالف السنة، فهو مذموم)) واحتج بقول عمر في قيام رمضان:
"نعمت البدعة هذه" رواه أبو نعيم في"حلية الأولياء" (9/113).
و قال : (( المحدثات من الأمور ضربان: ما أحدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً، فهذه بدعة ضلالة.وما أحدث من الخير لا خلاف لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة.قد قال عمر في قيام رمضان: "نعمت البدعة هذه".))
.أخرجه البيهقي في "مناقب الشافعي"(1/469).
Imam Syafii mengatakan bahwa bid'ah / muhdats / perkara baru ada dua : yang sesat yaitu bid'ah yang menyelisihi (bertentangan dengan) Qur'an, Sunnah dan Ijma'. Bid'ah yang tidak tercela, yakni yang tidak bertentangan dengan ketiganya.
Hadits ini juga menegaskan batasan atau definisi bid'ah yang dicela dalam hadits kullu bid'ah dlolalah, yakni bahwa yang dimaskud dengan bid'ah yang tercela adalah yang tidak ada perintah dari Nabi. Adapun jika ada perintah, maka tidak termasuk yang tercela.
2. Perintah itu beragam : ada yang sifatnya umum, dan ada yang sifatnya khusus. Perintah mengerjakan sholat dengan lima waktunya itu termasuk perintah khusus. Orang yang "ngarang" sholat shubuh 4 rokaat, jelas tertolak karena bertentangan dengan perintah khusus Nabi.
Ada perintah yang sifatnya umum. Misalnya membaca Qur'an. Nabi tak menjelaskan waktu, tempat dan caranya. Aspek teknis itu dibiarkan sebagai bagian dari keluasan dan keluwesan ajaran Islam. Perintah memperbanyak dzikir juga umum sifatnya.
Ada juga perintah belajar dan mengajarkan bahasa Arab. Teknisnya tak dibatasi. Karena itu mengajar ilmu nahwu, walaupun tak ada di masa Nabi, termasuk bid'ah yang diperintahkan dan karena itu tidak tercela. Ilmu ushul fiqh, hadits, tajwid dan banyak ilmu ilmu agama lainnya baru terbentuk setelah Nabi tidaklah tercela, karena termasuk bagian dari tafaqquh fid din yang diperintahkan secara umum dalam agama.
3. Pemahaman tentang apakah hal ini termasuk perintah atau tidak, adalah bagian dari proses ijtihad yang melibatkan istinbath (penarikan hukum dari Qur'an dan Sunnah). Sebagai bagian dari proses ijtihad, ikhtilaf (perbedaan pendapat) bisa terjadi.
Tentang peringatan maulid Nabi misalnya. Mayoritas ulama' menyatakan bahwa hal tersebut tidak apa apa, dan bahkan bisa termasuk dianjurkan karena mengandung hal hal yang baik dan diperintahkan dalam agama. Maulid Nabi berisi pengajian agama, pujian pada Nabi, membaca sholawat, memberi sedekah dan makanan, dan itu semua termasuk yang diperintahkan dalam agama. Apalagi ada dalil shohih bahwa Nabi memperingati hari lahir beliau dengan berpuasa di hari senin sebagaimana dijelaskan Ibn Hajar dan as Suyuthi.
Jadi walaupun kemasan maulid Nabi itu baru (bid'ah), namun isinya lama dan diperintahkan (masyru') sehingga sebagian besar ulama' dari masa ke masa dan tempat ke tempat menyetujuinya.
Seperti martabak. Walaupun modelnya baru, namun isinya (telur, tepung dan lain lain) adalah bahan bahan makanan lama yang telah dihukumi halal. Maka martabak walaupun tergolong makanan "bid'ah", dia tidak dilarang karena terdiri dari campuran barang barang halal.
Sebagian ulama' yang lain termasuk Ibn Taimiyah melihat pada bungkusnya yang baru, sehingga menyatakan bahwa peringatan maulid tergolong bid'ah yang tidak dianjurkan. Walaupun demikian, Ibn Taimiyah masih menyatakan bahwa mereka yang memperingati maulid bisa mendapat pahala karena isinya itu : majlis ilmu, majlis dzikir dan shodaqoh.
Nah, dalam menghadapi ikhtilaf ulama' ini bukankah lebih baik kita duduk leyeh leyeh menikmati keluasan dan keluwesan ajaran agama kita yang luar biasa ini, daripada menegakkan panji permusuhan atas nama amar ma'ruf nahiy munkar, yang sebenarnya tak disyariatkan dalam perkara perkara khilafiyyah. Apatahlagi sampai tidak menghargai pendapat jumhur ulama' ummat Islam dan menganggapnya sebagai penentangan terhadap Qur'an dan Sunnah.
Jadi, yang mau maulidan monggo, yang tidak maupun silakan. Toh maulid Nabi memang bukanlah hal yang wajib sehingga yang tidak mau menjadi berdosa, juga bukan perkara haram sehingga harus ditahdzir (diancam) sedemikian rupa dengan istilah bid'ah dlolalah yang ujung-ujungnya neraka.
Kalau saya, ya tetap maulidan saja. Ikut jumhur.
walLohu a'lam
sumber : https://www.facebook.com/ahmad.halimy.5/posts/10204749690980662
0 komentar:
Posting Komentar